Umur ‘Aaisyah Ketika Dinikahi Rasulullah, Sebuah Studi Sanad Hadits

Para orientalis -semoga Allah melaknat dan memerangi mereka- selalu memiliki berbagai macam cara untuk menyerang Islam, terkhusus Nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diantara tuduhan-tuduhan keji mereka adalah Nabi seorang pedofil yang menikahi anak perempuan dibawah umur (yang mereka maksudkan adalah ibunda kita, ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha), yang tentu saja tuduhan ini berasal dari rasa dengki dan kebencian mereka terhadap diinul Islam, sudah sunnatullah bahwasanya sampai kapanpun mereka tidak akan ridha terhadap agama yang mulia ini dan akan berusaha menghalalkan segala cara untuk membuat-buat fitnah dan syubhat, bahkan walaupun tidak adanya hadits pernikahan ini pun para orientalis tersebut tetap akan menghina Nabi.

Berangkat dari tuduhan inilah, sebagian saudara kaum muslimin -semoga Allah menjaga dan memelihara mereka- tampil kedepan dengan menjawab fitnah dan syubhat tersebut, namun sayangnya mereka malah membuat syubhat baru serta menghasilkan kebingungan yang beredar di masyarakat, diantaranya adalah, pertama, Nabi tidak menikahi ‘Aaisyah kecuali setelah ‘Aaisyah berumur 17 tahun kemudian beliau hidup bersamanya di Madinah ketika ‘Aaisyah berumur 20 tahun. Syubhat kedua yaitu, narasi hadits yang menceritakan pernikahan ‘Aaisyah dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dimana disebutkan pula umur ‘Aaisyah disitu, datang dari perawi bernama Hisyaam bin ‘Urwah -rahimahumallah- yang walaupun ia seorang perawi yang tsiqah serta mu’tamad dalam hadits, namun -menurut klaim mereka- ia menjadi pikun dan hapalannya mengalami ikhtilath ketika ia telah tua dan bermukim di ‘Iraaq, oleh karenanya segala yang ia riwayatkan kepada penduduk ‘Iraaq tidak bisa lagi dijadikan pegangan dan hadits ini termasuk yang diriwayatkan Hisyaam kepada penduduk ‘Iraaq ketika kualitas hapalannya telah menurun. Benarkah begitu?

Bi’idznillah, kami akan memulai dengan menyebutkan mengenai Hisyaam bin ‘Urwah. Apakah benar ia mengalami ikhtilath serta pikun?

Siapakah Hisyaam bin ‘Urwah?

Nama dan nasab beliau adalah Hisyaam bin ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-‘Awwaam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzzaa bin Qushay bin Kilaab Al-Qurasyiy Al-Madaniy, Abul Mundzir atau Abu ‘Abdillaah atau Abu Bakr Al-Asadiy tsumma Al-Baghdaadiy. Al-Imam Adz-Dzahabiy mensifatinya dengan “Al-Imam Ats-Tsiqah Syaikhul Islaam” yang kalau diterjemahkan menjadi : seorang imam yang tsiqah, guru besar Islam, sebuah pujian yang amat tinggi yang pantas disematkan kepada seorang ulama besar.

Bukan hanya Adz-Dzahabiy, para imam ahli hadits pun memberikan ta’dil (pujian) yang tinggi kepada Hisyaam, diantaranya adalah :

1. ‘Aliy bin Al-Madiiniy

قال البخاري، عن علي بن المديني: له نحو أربعمائة حديث

Al-Bukhaariy berkata, dari ‘Aliy bin Al-Madiiniy, “Ia mempunyai sekitar 400 hadits.”

2. Muhammad bin Sa’d dan Ahmad bin ‘Abdillaah Al-‘Ijliy

قال محمد بن سعد، والعجلي: كان ثقة، زاد ابن سعد: ثبتا كثير الحديث حجة

Muhammad bin Sa’d dan Al-‘Ijliy berkata, “Ia seorang yang tsiqah.” Ibnu Sa’d menambahkan, “Orang yang tsabt, banyak haditsnya dan ia hujjah[1].”

3. Yahyaa bin Ma’iin

قال عثمان بن سعيد الدارمي، قلت: ليحيى بن معين هشام بن عروة أحب إليك، عن أبيه أو الزهري، فقال كلاهما: ولم يفضل

‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata, aku bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin, “Hisyaam bin ‘Urwah dari Ayahnya lebih kau sukai, ataukah Az-Zuhriy (dari ‘Urwah)?” Ibnu Ma’iin menjawab, “Keduanya, dan tidak kuutamakan salah satunya.”

4. Abu Haatim Muhammad bin Idriis bin Al-Mundzir Ar-Raaziy

قال أبو حاتم: ثقة إمام في الحديث

Abu Haatim berkata, “Tsiqah, seorang imam (panutan) dalam hadits[2].”

5. Ya’quub bin Syaibah

قال يعقوب بن شيبة: ثبت ثقة، لم ينكر عليه شيء إلا بعد ما صار إلى العراق، فإنه انبسط في الرواية، عن أبيه، فأنكر ذلك عليه أهل بلده، والذي يرى أن هشاما يسهل لأهل العراق، أنه كان لا يحدث عن أبيه إلا بما سمعه منه، فكان تسهله أنه أرسل عن أبيه، مما كان يسمعه من غير أبيه، عن أبيه

Ya’quub bin Syaibah berkata, “Orang yang tsabt lagi tsiqah, haditsnya tidak diingkari sedikitpun kecuali setelah pindah menuju ‘Iraaq karena ia kadang melebihkan dalam riwayat dari Ayahnya (‘Urwah), maka aku mengingkari yang demikian atas apa yang ia lakukan pada penduduk negerinya. Bagi yang menganggap Hisyaam menyingkat (sanadnya) kepada penduduk ‘Iraaq adalah bahwa ia tidak meriwayatkan dari Ayahnya kecuali dengan perantara orang yang ia mendengarnya darinya, maka ia pun menyingkat dan meng-irsal sanadnya dari Ayahnya, padahal ia mendengarnya dari orang selain Ayahnya dan orang tersebut meriwayatkan dari Ayahnya.”

6. Wuhaib bin Khaalid

قال موسى بن إسماعيل، عن وهيب بن خالد قدم علينا هشام بن عروة، فكان فينا مثل الحسن، وابن سيرين

Muusaa bin Ismaa’iil berkata, dari Wuhaib bin Khaalid, “Hisyaam bin ‘Urwah datang kepada kami, maka seakan-akan kami memiliki orang yang seperti Al-Hasan (Al-Bashriy) dan Ibnu Siiriin.”

7. Ibnu Hibbaan Abu Haatim Al-Bustiy

Ia menyebutkan Hisyaam bin ‘Urwah dalam kitab Ats-Tsiqaat, kemudian berkata :

وكان حافظا متقنا ورعا فاضلا

“Seorang haafizh mutqin lagi wara’ dan mempunyai keutamaan.”

8. Abu ‘Abdillaah Adz-Dzahabiy

Telah kami sebutkan diatas, pujian Adz-Dzahabiy pada Hisyaam, dan dalam kitab Al-Miizaan, Adz-Dzahabiy berkata :

أحد الاعلام . حجة إمام ، لكن في الكبر تناقص حفظه ، ولم يختلط أبدا

“Ahadul a’laam (salah satu ahli ilmu), hujjah dan seorang imam. Akan tetapi ketika tua hapalannya berkurang dan tidak pernah mengalami ikhtilath.”

9. Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy

ثقة فقيه ربما دلس

“Tsiqah, orang yang faqiih, kemungkinan melakukan tadlis.”

Sementara dalam Hadyu As-Saariy :

مجمع على تثبيته إلا أنه في كبره تغير حفظه فتغير حديث من سمع منه في قدمته الثالثة إلى العراق وقد احتج به جميع الأئمة

“Disepakati akan tsabt-nya kecuali bahwa di masa tuanya hapalannya berubah maka berubah pula hadits orang-orang yang mendengar darinya ketika kedatangannya ke ‘Iraaq yang ketiga kali. Dan sungguh haditsnya telah dijadikan hujjah oleh seluruh imam hadits.”

Dari pemaparan para imam diatas, terlihat bahwa mereka menjunjung tinggi status Hisyaam bin ‘Urwah disamping ada kemungkinan tadlis[3] yang ia lakukan ketika menetap di ‘Iraaq. Namun, bagaimanapun juga para imam tersebut tidaklah serta merta menolak hadits-hadits Hisyaam begitu saja melainkan mereka bersikap hati-hati terhadapnya.

Sebagaimana yang dinukil oleh ‘Abdurrahman bin Khiraasy :

كان مالك لا يرضاه، وكان هشام صدوقا تدخل أخباره في الصحيح، بلغني أن مالكا نقم عليه حديثه لأهل العراق، قدم الكوفة ثلاث مرات، قدمة كان يقول: حدثني أبي، قال: سمعت عائشة، وقدم الثانية، فكان يقول: أخبرني أبي، عن عائشة، وقدم الثالثة، فكان يقول أبي، عن عائشة

“Maalik tidak meridhainya walau Hisyaam seorang yang shaduuq dan khabar-khabarnya tergolong khabar yang shahih. Telah sampai kepadaku bahwa Maalik membenci haditsnya kepada penduduk ‘Iraaq. Ia datang ke Kuufah tiga kali, pada kedatangan yang pertama ia mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku Ayahku, ia berkata, aku mendengar ‘Aaisyah,” pada kedatangan yang kedua ia mengatakan, “Telah mengkhabarkan kepadaku Ayahku, dari ‘Aaisyah,” dan pada kedatangan yang ketiga ia mengatakan, “Ayahku mengatakan, dari ‘Aaisyah.”

Dari apa yang dikatakan Ibnu Khiraasy diatas, jelaslah bahwa yang dikritik oleh para ulama adalah tahdiits Hisyaam ketika ia telah berada di ‘Iraaq, maksudnya adalah bagaimana cara ia menyampaikan dan meriwayatkan hadits tersebut dari Ayahnya kepada para penduduk ‘Iraaq. Para ulama hadits terdahulu -yang mereka jelas lebih dalam ma’rifahnya terhadap hadits dan para perawinya- tidak mengkritik matan yang diriwayatkan Hisyaam (mengenai umur ‘Aaisyah ketika dinikahi Nabi) atau dengan kata lain mereka menerima matannya. Dan kami tidak mengetahui ulama salaf mengadakan kritik matan terhadap hadits ini, melainkan kritik tersebut hanya datang dari orang-orang belakangan yang masanya terpaut sangat jauh dari mereka. Siapakah salaf dari orang-orang muta’akhir tersebut dalam hal kritik matan ini?

Kemudian klaim bahwa hapalan Hisyaam bin ‘Urwah mengalami ikhtilath hingga menyebabkan ia menjadi pikun dan kacau balau ketika telah tua dan menetap di ‘Iraaq, ini adalah pendapat Al-Haafizh Abul Hasan Ibnul Qaththaan Al-Faasiy rahimahullah, ia wafat pada tahun 628 H dan dari sini diketahui bahwa ia tergolong ulama muta’akhirin, pendapatnya tidak serta merta diterima jika ia tidak mempunyai salaf. Pendapat Ibnul Qaththaan telah dibantah dengan tegas oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 7/85 :

ولا عبرة بما قاله أبو الحسن بن القطان من أنه وسهيل بن أبى صالح اختلطا ، وتغيرا . نعم الرجل تغير قليلا ولم يبق حفظه كهو في حال الشبيبة ، فنسى بعض محفوظه أو وهم ، فكان ماذا ! أهو معصوم من النسيان

“Dan tidak ada pelajaran (maksudnya : jangan hiraukan, -pent) pada apa yang dikatakan Abul Hasan bin Al-Qaththaan bahwa ia (Hisyaam) dan Suhail bin Abu Shaalih mengalami ikhtilath dan perubahan (hapalan). Benar bahwa Hisyaam mengalami hapalan yang sedikit berubah dan tidaklah sama hapalannya (ketika tuanya) sebagaimana diri sang perawi semasa mudanya, maka terluputlah beberapa riwayat mahfuuzh-nya atau ia mengalami wahm, lalu apakah hal seperti ini salah? Apakah Hisyaam ma’shuum dari sifat lupa?”

Dan Al-Haafizh menyetujui Adz-Dzahabiy, dalam Tahdziibut Tahdziib 11/51 :

قال أبو الحسن بن القطان تغير قبل موته ولم نر له في ذلك سلفا

“Abul Hasan bin Al-Qaththaan berkata, “Hisyaam berubah hapalannya sebelum wafat,” namun kami menganggap pendapatnya yang demikian tidak mempunyai salaf.”

Perubahan hapalan yang dialami Hisyaam adalah perubahan hapalan yang wajar karena faktor manusia ketika usianya telah menua dan bukanlah perubahan hapalan yang membawa mudharat kepada apa yang diriwayatkannya, hal ini juga kerap dialami oleh para imam besar lain ketika mereka memasuki usia senja, lebih lanjut Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 6/35-36, berkata :

قلت الرجل حجة مطلقا ولا عبرة بما قاله الحافظ أبو الحسن بن القطان من انه هو وسهيل بن أبي صالح اختلطا وتغيرا فإن الحافظ قد يتغير حفظه اذا كبر وتنقص حدة ذهنه فليس هو في شيخوخته كهو في شبيبه وما ثم احد بمعصوم من السهو والنسيان وما هذا التغير بضار اصلا وانما الذي يضر الاختلاط وهشام فلم يختلط قط هذا امر مقطوع به وحديثه محتج في الموطأ والصحاح والسنن فقول ابن القطان انه اختلط قول مردود مرذول فأرني اماما من الكبار سلم من الخطأ والوهم فهذا شعبة وهو في الذروة له اوهام وكذلك معمر والاوزاعي ومالك رحمة الله عليهم

Aku (yaitu Adz-Dzahabiy) katakan, “Hisyaam hujjah secara muthlaq, dan tidak ada pelajaran pada apa yang dikatakan Al-Haafizh Abul Hasan bin Al-Qaththaan bahwasanya Hisyaam dan Suhail bin Abu Shaalih mengalami ikhtilath dan perubahan hapalan, karena seorang haafizh kerap berubah hapalannya ketika ia beranjak tua serta berkuranglah ketajaman ingatannya. Maka tidaklah sama keadaannya ketika tua seperti ketika masa mudanya, dan tidak pula seseorang itu ma’shum dari sifat lalai dan lupa. Perubahan hapalan seperti ini asalnya tidak membahayakan, sesungguhnya yang membahayakan adalah ikhtilath (kekacauan) dalam hapalannya sementara Hisyaam tidak sekalipun mengalami ikhtilath, inilah perkara yang telah diketahui mengenai dirinya. Hadits Hisyaam dijadikan hujjah dalam Al-Muwaththa’, kitab-kitab Shahih serta kitab-kitab Sunan, maka pendapat Ibnul Qaththaan yang menyebutkan Hisyaam mengalami ikhtilath adalah pendapat yang tertolak lagi keji. Aku melihat para imam besar pun kerap mengalami kesalahan dan wahm, seperti Syu’bah, yang kerap mengalami wahm ketika telah mencapai masa-masa akhir usianya, demikian pula Ma’mar, Al-Auzaa’iy, dan Maalik, semoga rahmat Allah tercurah untuk mereka semua.

Lalu selanjutnya, hadits umur ‘Aaisyah ketika dinikahi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Hadits Umur ‘Aaisyah dan Jalur-jalur Periwayatannya

Salah satu hal yang menarik dalam kajian ilmu hadits adalah ditemukannya beragam jalan periwayatan dari sebuah tema hadits. Ini membuktikan bahwasanya ada hadits yang tidak hanya dinarasikan atau diriwayatkan dari satu jalan periwayatan saja, melainkan ia memiliki sanad periwayatan dari jalur lain yang bisa menguatkannya. Yang patut kita ketahui, murid ‘Aaisyah itu tidak hanya ‘Urwah bin Az-Zubair keponakannya, tetapi juga sejumlah tabi’in lain bahkan para sahabat seperti Abu Hurairah, ‘Abdullaah bin ‘Abbaas, ‘Abdullaah bin Az-Zubair dan lain-lain -radhiyallaahu ‘anhum-, juga meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah lewat perantara ‘Aaisyah. Maka apakah benar sanad-sanad hadits peristiwa pernikahan Rasulullah dengan ‘Aaisyah hanya melalui jalur Hisyaam bin ‘Urwah dan penduduk ‘Iraaq saja? Mari kita lihat.

Hadits pernikahan tersebut adalah :

حَدَّثَنِي فَرْوَةُ بْنُ أَبِي الْمَغْرَاءِ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Telah menceritakan kepadaku Farwah bin Abul Maghraa’, telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Mushir, dari Hisyaam, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkisah, “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahiku ketika aku berumur 6 tahun, lalu kami (‘Aaisyah dan keluarganya, -pent) hijrah ke Madinah dan kami bertempat tinggal di desa bani Al-Haarits bin Khazraj. Aku sempat jatuh sakit dan rontoklah rambutku, lalu aku pun sembuh hingga rambutku tumbuh lebat. Maka ibuku -Ummu Ruumaan- mendatangiku ketika aku sedang bermain ayunan bersama teman-temanku.

Ibuku berteriak memanggilku dan aku pun memenuhi panggilannya sementara aku tidak tahu menahu sama sekali apa yang ia inginkan dari diriku. Ibuku menggandeng kedua tanganku hingga membawaku ke depan pintu sebuah rumah dan aku dalam keadaan terengah-engah (karena jalannya yang terburu-buru) sampai aku bisa menguasai diriku kembali. Lalu ibuku meraup air dan membasuh wajah dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ia membawaku masuk ke dalam rumah yang ternyata didalamnya sudah ada beberapa wanita Anshaar.

Mereka mendo’akanku, “‘Alal khair wal barakah, wa ‘alaa khairi thaa’ir! (Semoga selalu diatas kebaikan dan keberkahan, dan semoga selalu bernasib baik).”

Ibuku menyerahkanku kepada para wanita Anshaar tersebut dan mereka segera merapikan penampilanku. Tidak ada yang lebih membuatku terkejut pada waktu pagi menjelang siang itu selain kehadiran Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka mereka pun menyerahkanku kepada beliau, dan umurku pada waktu itu adalah 9 tahun.” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 3894]

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahiih-nya no. 1422, dengan jalur dari Abu Kuraib dan Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ibnu Abi Syaibah berkata, aku menemukan dalam kitabku, dari Abu Usaamah, dari Hisyaam, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata, “…”

Dan jalur-jalur lainnya yang bersumber dari Hisyaam pada Ash-Shahiihain :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Hisyaam, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun dan menggaulinya ketika ia berumur 9 tahun, ia hidup bersama Rasulullah selama 9 tahun. [Shahiih Al-Bukhaariy no. 5133]

Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Shahiih-nya no. 1423, dengan jalur dari Yahyaa bin Yahyaa, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Mu’aawiyah, dari Hisyaam, -kemudian dari jalur lainnya, dari Ibnu Numair, dan lafazhnya adalah miliknya, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaimaan, dari Hisyaam, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah.

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ قَالَ هِشَامٌ وَأُنْبِئْتُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَهُ تِسْعَ سِنِينَ

Telah menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari Ayahnya, dari ‘Aaisyah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun dan membangun rumah tangga bersamanya ketika ia berumur 9 tahun. Hisyaam berkata, “Aku telah diberitahu bahwasanya ‘Aaisyah membangun rumah tangga bersama beliau selama 9 tahun.” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 5134]

Taruhlah jika kita terima bahwa riwayat Hisyaam ketika ia menetap di ‘Iraaq tidak bisa dijadikan hujjah lantaran ia telah menua dan mengalami ikhtilath serta hapalannya kacau (menurut klaim mereka), maka sanad dari jalur-jalur lain ini tidak syak lagi berfungsi sebagai mutaba’ah dan syawahid bagi Hisyaam dan penduduk ‘Iraaq. Kami akan sebutkan satu persatu.

1. Jalur ‘Aaisyah —> ‘Urwah —> Az-Zuhriy (Az-Zuhriy adalah imamnya penduduk Madinah)

حدثنا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ: ” أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ، وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ، وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy[4], dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 7 tahun dan menggaulinya ketika ia berumur 9 tahun, ketika itu ia masih bermain-main dengan bonekanya. Rasulullah wafat ketika ‘Aaisyah berumur 18 tahun. [Shahiih Muslim no. 1424]

Tanbiih :

Pada redaksi hadits ini disebutkan umurnya 7 tahun. Hal ini dikomentari oleh Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah :

وَأَمَّا قَوْلُهَا فِي رِوَايَةٍ تَزَوَّجَنِي وَأَنَا بِنْتُ سَبْعٍ وَفِي أَكْثَرِ الرِّوَايَاتِ بِنْتُ سِتٍّ فَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ كَانَ لَهَا سِتٌّ وَكَسْرٌ فَفِي رِوَايَةٍ اقْتَصَرَتْ عَلَى السِّنِينَ وَفِي رِوَايَةٍ عَدَّتِ السَّنَةَ الَّتِي دَخَّلَتْ فِيهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Adapun perkataan ‘Aaisyah dalam sebuah riwayat : Beliau menikahiku dan aku berumur 7 tahun, padahal didalam banyak riwayat disebutkan ia berumur 6 tahun. Maka keduanya dapat dijama’ bahwasanya ia berumur 6 tahun beberapa bulan, walaupun begitu pada sebagian riwayat ia hanya menyebutkan umurnya (ketika itu) saja dan pada riwayat lain ia menambah dengan umur yang ia akan memasukinya. Wallaahu a’lam.” [Syarh Shahiih Muslim 9/207]

2. Jalur ‘Aaisyah —> Al-Aswad bin Yaziid —> Ibraahiim An-Nakha’iy (An-Nakha’iy adalah imamnya penduduk Kuufah)

وحدثنا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَإِسْحَاقَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ يَحْيَى، وَإِسْحَاقَ: أَخْبَرَنا، وقَالَ الْآخَرَانِ: حدثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَت: ” تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, Ishaaq bin Ibraahiim, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, Yahyaa dan Ishaaq berkata, telah mengkhabarkan kepada kami, sementara yang lain (yaitu Ibnu Abi Syaibah dan Abu Kuraib, -pent) berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim[5], dari Al-Aswad, dari ‘Aaisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun dan membangun rumah tangga bersamanya ketika ia berumur 9 tahun. Rasulullah wafat ketika ‘Aaisyah berumur 18 tahun.” [Shahiih Muslim no. 1424]

3. Jalur ‘Aaisyah —> Yahyaa bin ‘Abdirrahman bin Haathib —> Muhammad bin ‘Amr (Yahyaa dan Muhammad, keduanya adalah penduduk Madinah)

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو، عَنْ يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ، قَالَتْ: فَوَاللَّهِ إِنِّي لَعَلَى أُرْجُوحَةٍ بَيْنَ عِذْقَيْنِ، فَجَاءَتْنِي أُمِّي فَأَنْزَلَتْنِي وَلِي جُمَيْمَةٌ… وَسَاقَ الْحَدِيثَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullaah bin Mu’aadz, telah menceritakan kepada kami Ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad -yakni Ibnu ‘Amr[6], dari Yahyaa -yakni Ibnu ‘Abdirrahman bin Haathib, ia berkata, ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Kami hijrah ke Madinah dan kami bertempat tinggal di desa bani Al-Haarits bin Khazraj,” ia melanjutkan, “Demi Allah, aku sedang bermain ayunan yang terpasang diantara dua cabang pohon ketika datanglah ibuku yang langsung menurunkan aku dan pada saat itu rambutku telah lebat…” kemudian perawi menyebutkan haditsnya yang panjang. [Sunan Abu Daawud no. 4935]

Sanadnya hasan, dan menurut Al-Albaaniy dalam Shahiih Abu Daawud no. 4937, sanadnya hasan shahih.

4. Jalur ‘Aaisyah —> Abu Salamah bin ‘Abdirrahman —> Muhammad bin Ibraahiim (Abu Salamah dan Muhammad bin Ibraahiim adalah penduduk Madinah, Abu Salamah adalah salah satu dari 7 ahli fiqh kota Madinah)

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعْدِ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمِّي، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: ” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ

Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Sa’d bin Al-Hakam bin Abi Maryam, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Pamanku, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Umaarah bin Ghaziyyah, dari Muhammad bin Ibraahiim[7], dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dari ‘Aaisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahiku ketika aku berumur 6 tahun dan membangun rumah tangga bersamaku ketika aku berumur 9 tahun.” [Sunan An-Nasaa’iy Ash-Shughraa no. 3379]

Menurut Al-Albaaniy dalam Shahiih An-Nasaa’iy, sanadnya shahih.

5. Jalur ‘Aaisyah —> Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillaah bin Mas’uud —> Abu Ishaaq (Abu ‘Ubaidah dan Abu Ishaaq keduanya adalah penduduk Kuufah)

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْثَرٌ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: ” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِتِسْعِ سِنِينَ، وَصَحِبْتُهُ تِسْعًا

Telah mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abtsar, dari Mutharrif, dari Abu Ishaaq[8], dari Abu ‘Ubaidah, ia berkata, ‘Aaisyah berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahiku ketika umurku menginjak 9 tahun dan aku menemaninya selama 9 tahun.”[9] [Sunan An-Nasaa’iy Ash-Shughraa no. 3257]

Menurut Al-Albaaniy dalam Shahiih An-Nasaa’iy, sanadnya shahih.

6. Jalur ‘Aaisyah —> Ibnu Abi Mulaikah —> Al-Ajlah (Ibnu Abi Mulaikah adalah penduduk Makkah dan Al-Ajlah adalah penduduk Kuufah)

أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ رَاهَوَيْهِ، قَال: أنا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، قَال: ثنا أَبُو بَكْرٍ وَهُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَجْلَحِ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin Raahawaih, ia berkata, telah memberitakan kepada kami Yahyaa bin Aadam, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr -yaitu Ibnu ‘Ayyaasy-, dari Al-Ajlah[10], dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun dan menggaulinya ketika ia berumur 9 tahun. [Sunan An-Nasaa’iy Al-Kubraa 5/168]

Sanad hadits ini lemah, namun ia menjadi hasan lighairihi dengan jalur-jalur lainnya.

7. Jalur ‘Aaisyah —> Al-Qaasim bin Muhammad —> Sa’d bin Ibraahiim (Al-Qaasim dan Sa’d keduanya adalah penduduk Madinah)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ سَهْلٍ الْحَنَّاطُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: ” تَزَوَّجْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillaah Al-Hadhramiy, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sahl Al-Hannaath, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Asadiy, telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Sa’d bin Ibraahiim[11], dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah, ia berkata, “Aku menikahi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan aku berumur 6 tahun, beliau membangun rumah tangga bersamaku dan aku berumur 9 tahun.” [Mu’jam Al-Kabiir no. 52]

Sanad ini lemah disebabkan Al-Hasan bin Sahl Al-Hannaath, ia majhuul. Biografinya disebutkan di Kasyf An-Niqaab ‘an Al-Asmaa’ wa Al-Alqaab hal. 153 no. 356 dengan laqabnya adalah “Hurhuus”, meriwayatkan dari ‘Abdullaah bin Idriis. Disebutkan juga dalam Al-Ansaab 4/271 kemudian Al-Ikmaal 3/276, dengan tanpa menyebutkan jarh dan ta’dilnya. Namun sanad ini hasan lighairihi dengan jalur-jalur lainnya.

Inilah jalur-jalur periwayatan dari ‘Aaisyah yang dapat kami kumpulkan mengenai umurnya ketika ia dinikahi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, telah jelas sejelas terik matahari di siang hari yang cerah bahwasanya jalur periwayatannya tidak hanya berasal dari Hisyaam bin ‘Urwah dan penduduk ‘Iraaq, tetapi juga berasal dari para perawi lain yang bermukim di luar ‘Iraaq, salah satunya adalah imam kaum muslimin, Al-Imam Ibnu Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah, salah satu tokoh yang dikenal dengan kekokohan hapalan dan luasnya ilmu beliau.

Kami akan menyebutkan satu jalur lagi yang merupakan jalur dari orang yang paling tsabt pada Hisyaam bin ‘Urwah[12], dan ia berasal dari Madinah :

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: ” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ بِمَكَّةَ، مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ بِالْمَدِينَةِ

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud, ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari Ayahnya, ia berkata, ‘Aaisyah berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahiku di Makkah ketika aku berumur 6 tahun, setelah wafatnya Khadiijah. Kemudian beliau menggauliku di Madinah ketika aku berumur 9 tahun.” [Musnad Ahmad no. 24345]

Sanadnya shahih menurut Al-Arna’uuth -ta’liiq Musnad Ahmad 41/360-, ia berkata :

حديث صحيح، عبد الرحمن – وهو ابن أبي الزناد، وإن كان فيه ضعف – قد توبع، وبقية رجال الإسناد ثقات رجال الشيخين، غير سليمان بن داود: وهو الطيالسي، فمن رجال مسلم

“Hadits shahih, ‘Abdurrahman -ia adalah Ibnu Abi Az-Zinaad- walaupun terdapat kelemahan, ia telah di-mutaba’ah (dari jalur lain). Para perawi sisanya dalam sanad adalah orang-orang tsiqah dan termasuk para perawi Asy-Syaikhain selain Sulaimaan bin Daawud, ia adalah Ath-Thayaalisiy, ia perawi Muslim.”

Ibnu Abi Az-Zinaad, ia berasal dari Madinah dan pada akhir masa hidupnya ia pindah ke Baghdaad, biografinya kami rinci dalam catatan kaki[13], para ulama hadits banyak yang membicarakan dirinya dan kami berkesimpulan bahwa ia perawi shaduuq hasanul hadiits pada hadits-haditsnya yang ia riwayatkan ketika di Madinah, sementara ketika datang ke Baghdaad pada akhir-akhir umurnya, hapalannya berubah yang menyebabkan khabar-khabarnya menjadi mudhtharib (guncang) dan terbolak-balik, oleh karenanya ia menjadi dha’if.

Dalam periwayatan dari Hisyaam bin ‘Urwah, ia mempunyai kelebihan :

قال يحيى بن معين: أثبت الناس في هشام بن عروة، عبد الرحمن بن أبي الزناد

Yahyaa bin Ma’iin berkata, “Orang yang paling tsabt pada Hisyaam bin ‘Urwah adalah ‘Abdurrahman bin Abi Az-Zinaad.” [Taariikh Baghdaad 11/495]

Maka, tidak diragukan lagi bahwa sanad ini kuat dari sisi periwayatan Ibnu Abi Az-Zinaad dari Hisyaam, namun kelemahan datang dari sisi Sulaimaan bin Daawud, Abu Daawud Al-Imam Al-Haafizh Ath-Thayaalisiy rahimahullah, ia berasal dari Persia dan bermukim di Bashrah, sehingga kemungkinan kuat ia mendengar hadits ini dari Ibnu Abi Az-Zinaad pada masa-masa akhir usianya ketika Ibnu Abi Az-Zinaad telah tinggal di Baghdaad, sehingga hapalannya telah mukhtalith. Akan tetapi, seperti penjelasan Al-Arna’uuth, Ibnu Abi Az-Zinaad tidak tafarrud dan ia di-mutaba’ah oleh jalur-jalur lainnya sehingga sanad ini menjadi shahih.

Perkataan Beberapa Ulama Ahli Hadits dan Ahli Tarikh Mengenai Pernikahan ‘Aaisyah dengan Rasulullah

1. Al-Imam Muhammad bin Sa’d bin Manii’ rahimahullah, terkenal dengan nama Ibnu Sa’d (w. 230 H), beliau membawakan sanadnya hingga ‘Aaisyah Ash-Shiddiiqah :

تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم في شوال سنة عشر من النبوة فبل الهجرة لثلاث سنين وأنا ابنة ست سنين…وكنت يوم دخل بي ابنة تسع سنين

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahiku pada bulan Syawwaal, tahun 10 kenabian, 3 tahun sebelum hijrah, ketika itu usiaku 6 tahun…dan pada hari ketika beliau menggauliku, aku berusia 9 tahun. [Ath-Thabaqaat Al-Kubraa 10/58]

2. Al-Imam Ahmad bin Yahyaa Al-Balaadzuriy rahimahullah (w. 279 H) :

وتزوجها بمكة وهي ابنة ست، ويقال: سبع. وابتني بِهَا وهي ابنة تسع فِي شوال سنة إحدى من الهجرة. وكانت أحب نسائه إِلَيْهِ

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aaisyah di Makkah ketika ‘Aaisyah berumur 6 tahun dan ada yang mengatakan 7 tahun, kemudian membangun rumah tangga bersamanya ketika ‘Aaisyah berumur 9 tahun pada bulan Syawwaal tahun 1 Hijriyyah. ‘Aaisyah adalah istri beliau yang paling beliau cintai. [Ansaabul Asyraaf 1/409]

3. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jariir Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310 H) :

وَفِيهَا بَنَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم بِعَائِشَةَ بَعْدَ مَقْدِمِهِ الْمَدِينَةَ بِثَمَانِيَةِ أَشْهُرٍ، فِي ذِي الْقِعْدَةِ فِي قَوْلِ بَعْضِهِمْ، وَفِي قَوْلِ بَعْضٍ: بَعْدَ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ بِسَبْعَةِ أَشْهُرٍ، فِي شَوَّالٍ، وَكَانَ تَزَوَّجَهَا بِمَكَّةَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِثَلاثِ سِنِينَ بَعْدَ وَفَاةِ خَدِيجَةَ وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَقَدْ قِيلَ: تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سَبْعٍ

Dan pada tahun tersebut (yaitu tahun 1 H, -pent), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam membangun rumah tangga bersama ‘Aaisyah setelah 8 bulan kedatangan beliau di Madinah yaitu pada bulan Dzulqa’dah -menurut sebagian pendapat para ulama-, sementara pendapat yang lainnya menyebutkan : setelah 7 bulan kedatangan beliau di Madinah yaitu pada bulan Syawwaal. Rasulullah menikahi ‘Aaisyah di Makkah 3 tahun sebelum hijrah setelah wafatnya Khadiijah, ketika itu ‘Aaisyah berumur 6 tahun. Dan telah dikatakan menurut pendapat yang lainnya : ‘Aaisyah berumur 7 tahun. [Taariikh Ath-Thabariy 2/398]

4. Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy rahimahullah (w. 458 H) :

قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، وُلِدَتْ عَلَى الإِسْلامِ، لأَنَّ أَبَاهَا أَسْلَمَ فِي ابْتِدَاءِ الْمَبْعَثِ، وَثَابِتٌ عَنِ الأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ ابْنَةُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha, dilahirkan pada masa Islam karena ayahnya masuk Islam ketika masa-masa awal pengutusan Nabi. Telah tsabt riwayat dari Al-Aswad, dari ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun, dan membangun rumah tangga bersamanya ketika ia berumur 9 tahun. Beliau wafat ketika ‘Aaisyah telah berumur 18 tahun.” [As-Sunan Al-Kubraa 6/204]

5. Al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauziy rahimahullah (w. 597 H) :

ومن الحوادث في هذه السنة: تزويج رسول الله صلى الله عليه وسلم عائشة وسودة، وكانت عائشة بنت ست سنين حينئذ

Dan diantara peristiwa-peristiwa pada tahun ini (yaitu tahun 10 kenabian, -pent) adalah pernikahan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan ‘Aaisyah dan Saudah. Pada waktu itu ‘Aaisyah berumur 6 tahun. [Al-Muntazham 3/16]

Kemudian beliau berkata kembali pada peristiwa-peristiwa tahun 1 H :

وفي هذه السنة: بنى رسول الله صلى الله عليه وسلم بعائشة رضي الله عنها في شوال، وقد قيل: في السنة الثانية، والأول أصح، وكان تزوجها قبل الهجرة بثلاث سنين

Dan pada tahun ini (tahun 1 H, -pent), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam membangun rumah tangga bersama ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anha pada bulan Syawwaal. Ada yang mengatakan pada tahun kedua, namun yang pertama lebih shahih. Rasulullah telah menikahinya 3 tahun sebelum hijrah. [Al-Muntazham 3/69]

6. Al-Imam ‘Izzuddiin Abul Hasan Ibnul Atsiir rahimahullah (w. 630 H) :

تزوجها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل الهجرة بسنتين، وهي بكر، قاله أبو عبيدة، وقيل: بثلاث سنين، وقال الزبير: تزوجها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بعد خديجة بثلاث سنين، وتوفيت خديجة قبل الهجرة بثلاث سنين، وقيل: بأربع سنين، وقيل: بخمس سنين، وكان عمرها لما تزوجها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ست سنين، وقيل: سبع سنين، وبنى بها وهي بنت تسع سنين بالمدينة

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya 2 tahun sebelum hijrah dan ia seorang gadis perawan, demikian Abu ‘Ubaidah mengatakannya. Dikatakan dalam riwayat yang lain : 3 tahun sebelum hijrah. Az-Zubair berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya 3 tahun setelah Khadiijah wafat, sementara ia wafat 3 tahun sebelum hijrah.” Dalam riwayat yang lain : 4 tahun sebelum hijrah, dan dalam riwayat yang lainnya : 5 tahun sebelum hijrah. Umur ‘Aaisyah tatkala Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya adalah 6 tahun, dan dikatakan : 7 tahun. Kemudian membangun rumah tangga bersamanya di Madinah ketika ‘Aaisyah berumur 9 tahun. [Usdul Ghaabah 7/186]

7. Al-Imam Jamaaluddiin Abul Hajjaaj Yuusuf bin ‘Abdirrahman Al-Mizziy rahimahullah (w. 742 H) :

تزوجها رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بمكة قبل الهجرة بسنتين في قول أبي عُبَيدة، وقيل: قبل الهجرة بثلاث سنين، وقيل: بسنة ونصف أو نحو ذلك وهي بنت ست سنين، وبنى بها بالمدينة بعد منصرفة من وقعة بدر في شوال سنة اثنتين من الهجرة وهي بنت تسع سنين، وقيل: بنى بها في شوال على رأس ثمانية عشر شهرا من مهاجره إلى المدينة

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aaisyah di Makkah 2 tahun sebelum hijrah menurut pendapat Abu ‘Ubaidah, ada yang mengatakan : 3 tahun sebelum hijrah, dan ada pula yang mengatakan : satu setengah tahun, atau yang semakna dengannya. Dan ‘Aaisyah ketika itu berumur 6 tahun, lalu Rasulullah membangun rumah tangga bersamanya di Madinah setelah keberangkatan beliau dari pertempuran Badr, bulan Syawwaal tahun 2 H, dan ‘Aaisyah berumur 9 tahun pada saat itu. Dikatakan : membangun rumah tangga bersamanya pada bulan Syawwaal, di periode awal 18 bulan dari hijrah beliau menuju Madinah. [Tahdziibul Kamaal 35/227]

8. Al-Imam Syamsuddiin Abu ‘Abdillaah Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) :

تزوجها نبي الله قبل مهاجره بعد وفاة الصديقة خديجة بنت خويلد وذلك قبل الهجرة ببضعة عشر شهرا وقيل بعامين ودخل بها في شوال سنة اثنتين منصرفه عليه الصلاة والسلام من غزوة بدر وهي ابنة تسع

Nabiyullah menikahi ‘Aaisyah sebelum beliau berhijrah, setelah Ash-Shiddiiqah Khadiijah binti Khuwailid wafat, peristiwa tersebut terjadi kurang lebih 10 bulan sebelum hijrah, dan dikatakan 2 tahun sebelumnya. Beliau menggaulinya pada bulan Syawwaal tahun kedua (setelah hijrah) setelah keberangkatan beliau -‘alaihi ash-shalaatu wassalaam- dari perang Badr dan ‘Aaisyah berumur 9 tahun. [Siyaru A’laam An-Nubalaa’ 2/135]

9. Al-Imam Syamsuddiin Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah (w. 751 H), beliau membuat pasal didalam kitabnya, Zaadul Ma’aad, yaitu :

فَصْلٌ فِي أَزْوَاجِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Pasal mengenai istri-istri beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam”

Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan mengenai Khadiijah binti Khuwailid dan Saudah binti Zam’ah -radhiyallaahu ‘anhunna-, setelah itu ia berkata :

ثُمَّ تَزَوَّجَ بَعْدَهَا أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ عائشة الصديقة بنت الصديق الْمُبَرَّأَةَ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ، حَبِيبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عائشة بنت أبي بكر الصديق، وَعَرَضَهَا عَلَيْهِ الْمَلَكُ قَبْلَ نِكَاحِهَا فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَقَالَ: “هَذِهِ زَوْجَتُكَ”، تَزَوَّجَ بِهَا فِي شَوَّالٍ وَعُمْرُهَا سِتُّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا فِي شَوَّالٍ فِي السَّنَةِ الْأُولَى مِنَ الْهِجْرَةِ وَعُمْرُهَا تِسْعُ سِنِينَ، وَلَمْ يَتَزَوَّجْ بِكْرًا غَيْرَهَا

Kemudian setelah menikahi Saudah, Rasulullah menikahi Ummu ‘Abdillaah ‘Aaisyah Ash-Shiddiiqah binti Ash-Shiddiiq, yang disucikan dari atas langit ketujuh, kekasih Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ‘Aaisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiiq. Malaikat menunjukkannya dalam selembar kain sutera kepada Rasulullah sebelum beliau menikahinya, malaikat berkata, “Ini adalah istrimu.” Beliau menikah dengannya pada bulan Syawwaal dan umur ‘Aaisyah 6 tahun, kemudian membangun rumah tangga bersamanya di bulan Syawwaal pada tahun 1 Hijriyyah dan umur ‘Aaisyah 9 tahun. Rasulullah tidak menikahi perawan selainnya. [Zaadul Ma’aad 1/102-103]

10. Al-Imam ‘Imaaduddiin Abul Fidaa’ Ismaa’iil bin ‘Umar Ibnu Katsiir Ad-Dimasyqiy rahimahullah (w. 774 H), Ibnu Katsiir menukil dari Shahiih Al-Bukhaariy perkataan ‘Urwah bin Az-Zubair :

تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ قَبْلَ مَخْرَجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثِ سِنِينَ، فَلَبِثَ سَنَتَيْنِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، وَنَكَحَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، ثُمَّ بَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Khadiijah wafat 3 tahun sebelum keluarnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam (menuju Madinah), maka beliau tetap tinggal selama 2 tahun atau kurang lebih selama itu. Lalu beliau menikahi ‘Aaisyah ketika ia berumur 6 tahun, kemudian membangun rumah tangga bersamanya ketika ia berumur 9 tahun.

Maka Al-Imam Ibnu Katsiir berkata menjelaskan peristiwa ini :

وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ عُرْوَةُ مُرْسَلٌ فِي ظَاهِرِ السِّيَاقِ كَمَا قَدَّمْنَا وَلَكِنَّهُ فِي حُكْمِ الْمُتَّصِلِ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ. وَقَوْلُهُ: تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ. مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا. وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا، عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ

Inilah yang dikatakan oleh ‘Urwah dengan sanad mursal pada konteks zhahir kalimat sebagaimana kami datangkan, akan tetapi dihukumi muttashil dalam hal kandungannya. Perkataannya : Rasulullah menikahi ‘Aaisyah ketika ia berumur 6 tahun dan membangun rumah tangga bersamanya ketika ia berumur 9 tahun, tidak ada perbedaan pendapat diantara manusia dalam hal ini serta telah tsabt hal ini didalam kitab-kitab shahih dan kitab-kitab yang lainnya. Rasulullah -‘alaihissalaam- membangun rumah tangga bersama ‘Aaisyah pada tahun kedua setelah hijrah menuju Madinah. [Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 4/326-327]

11. Al-Imam Syihaabuddiin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Aliy Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah (w. 852 H) :

ولدت بعد المبعث بأربع سنين أو خمس، فقد ثبت في الصّحيح أنّ النبي صلّى اللَّه عليه وآله وسلّم تزوجها وهي بنت ست، وقيل سبع، ويجمع بأنها كانت أكملت السّادسة ودخلت في السّابعة، ودخل بها وهي بنت تسع

‘Aaisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun setelah pengutusan Nabi, telah tsabt didalam Ash-Shahiih bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya ketika ia berumur 6 tahun, dikatakan 7 tahun, dan kedua pendapat dapat dijamak bahwa ‘Aaisyah hampir menghabiskan usia yang keenam dan akan memasuki usia yang ketujuh. Beliau menggaulinya ketika ia berumur 9 tahun. [Al-Ishaabah fiy Tamyiiz Ash-Shahaabah 8/231-232]

12. Asy-Syaikh ‘Umar Ridhaa Kahaalah Ad-Dimasyqiy rahimahullah (w. 1408 H) :

وذلك بمكة في شوال قبل الهجرة لثلاث سنين وهي بنت ست سنين، وفي رواية أنها كانت بنت سبع سنين، وفي أخرى أنها أكملت السادسة ودخلت في السابعة، وبنى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي بنت تسع بالمدينة في شوال في السنة الأولى من الهجرة

Peristiwa tersebut (yaitu pernikahan Rasulullah dengan ‘Aaisyah, -pent) terjadi di Makkah pada bulan Syawwaal 3 tahun sebelum hijrah, ketika itu ‘Aaisyah berumur 6 tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia berumur 7 tahun, dan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ia hampir menghabiskan usia yang keenam dan akan memasuki usia yang ketujuh. Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam membangun rumah tangga bersama ‘Aaisyah di Madinah ketika ia berumur 9 tahun, pada bulan Syawwaal tahun pertama Hijriyyah. [A’laam An-Nisaa’ 3/11]

13. Asy-Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubaarakfuuriy Al-Hindiy rahimahullah (w. 1427 H) :

وفي شوال من هذه السنة – سنة ١١ من النبوة – تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم عائشة الصديقة رصي الله عنها وهي بنت ست سنين، وبنى بها بالمدينة في شوال في السنة الأولى من الهجرة وهي بنت تسع سنين

Pada bulan Syawwaal tahun ini -yaitu tahun 11 kenabian-, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aaisyah Ash-Shiddiiqah radhiyallaahu ‘anha dan umur ‘Aaisyah 6 tahun, kemudian membangun rumah tangga bersamanya di Madinah pada bulan Syawwaal tahun 1 Hijriyyah dan umur ‘Aaisyah 9 tahun. [Ar-Rahiiq Al-Makhtuum hal. 136]

14. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uuth hafizhahullah, pada permulaan musnad ‘Aaisyah didalam kitab Musnad Imam Ahmad, Al-Arna’uuth memberi ta’liiq :

تزوجها نبي الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل مهاجَرِه بَعدَ وفاة الصِّدِّيقة خديجة بنت خُويلد، وذلك قبل الهجرة ببضعة عشر شهراً – وقيل: بعامين- ودخل بها في شوال سنة اثنتين، منصرفه عليه الصلاةُ والسلامُ مِن غزوة بدر، وهي ابنةُ تسع. ومكثت عنده تسع سنين، فروت عنه علماً كبيراً طيباً مباركاً فيه

Nabiyullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahinya sebelum hijrah beliau dan setelah Khadiijah binti Khuwailid wafat. Peristiwa tersebut terjadi sekitar 10 bulan sebelum hijrah, dan dikatakan : 2 tahun sebelum hijrah. Beliau menggaulinya pada bulan Syawwaal tahun kedua setelah keberangkatan beliau -‘alaihi ash-shalaatu wassalaam- dari perang Badr dan usia ‘Aaisyah 9 tahun, serta membina kehidupan rumah tangga bersama beliau selama 9 tahun. Maka ‘Aaisyah meriwayatkan dari beliau ilmu yang banyak, baik lagi penuh keberkahan didalamnya. [Ta’liiq Musnad Ahmad 40/9]

Al-Khulaashah

Akhirnya, kesimpulan pembahasan ini dapat kami rangkum menjadi beberapa bagian :

1. Mengenai Hisyaam bin ‘Urwah -rahimahumallah-, tidak syak lagi bahwa beliau adalah salah seorang ulama besar, perawi hadits yang tsiqah bahkan derajat tsiqah-nya sampai kepada “al-hujjah”, maknanya adalah beliau sendiri telah cukup sebagai perawi kisah pernikahan ‘Aaisyah dengan Rasulullah andaikan beliau tafarrud dalam sanadnya.

2. Hisyaam bin ‘Urwah adalah hujjah secara muthlaq, ia tidak mengalami ikhtilath hapalan yang menyebabkan kepikunan ketika ia bermukim di ‘Iraaq pada masa-masa akhir umurnya. Para ulama ahli hadits tidak ada yang menyifati Hisyaam sebagai perawi mukhtalith, namun penyifatan yang demikian datang belakangan dari Al-Haafizh Abul Hasan Ibnul Qaththaan, beliau wafat tahun 628 H dan beliau termasuk ulama muta’akhirin. Dengan demikian ijtihad beliau haruslah mempunyai salaf dari ulama terdahulu. Pendapat Ibnul Qaththaan telah dibantah secara tegas oleh Adz-Dzahabiy sebagaimana telah kami kutip pada penjelasan terdahulu.

3. Penurunan hapalan yang dialami Hisyaam ketika tua adalah sesuatu yang wajar dialami oleh manusia namun penurunan hapalannya tersebut tidak membuatnya menjadi perawi mukhtalith serta tidak membahayakan periwayatannya. Hal ini pun kerap dialami oleh para imam besar yang lain sebagaimana ketika tua mereka terkadang mengalami wahm dalam periwayatan, namun wahm mereka yang sedikit tidak memudharatkan ketinggian derajat dan ke-dhabitan mereka.

4. Kritik mengenai periwayatan Hisyaam ketika ia telah bermukim di ‘Iraaq dapat dijawab bahwasanya kritik tersebut tertuju pada tahdiits Hisyaam, yaitu cara meriwayatkan yang dipraktekkan Hisyaam kepada penduduk ‘Iraaq, pada kedatangan yang pertama dan kedua ia menyatakan tahdiits, namun pada kedatangan yang ketiga ia kerap meng-irsal sanadnya (sebagaimana perkataan Ibnu Khiraasy), maka para ulama berhati-hati jika kemungkinan ada tadlis dari sisi ini. Mereka sama sekali tidak mengomentari atau mengkritik matan yang diriwayatkan oleh Hisyaam mengenai umur ‘Aaisyah ketika dinikahi Rasulullah.

5. Jalur-jalur periwayatan hadits pernikahan Rasulullah dengan ‘Aaisyah adalah jalur yang tidak hanya berasal dari Hisyaam bin ‘Urwah saja, namun banyak para perawi lain yang turut meriwayatkan hadits ini, dan juga jalurnya tidak hanya berasal dari penduduk ‘Iraaq seperti yang telah kami buktikan dalam penjabaran diatas. Oleh karenanya, syubhat yang mengatakan hadits ini hanya teriwayatkan dari Hisyaam dan dari jalur penduduk ‘Iraaq saja, jelas tertolak dan terbantahkan!

6. Para ulama umat ini telah sepakat menerima hadits ini, maka mereka menerima pula bahwa ‘Aaisyah dinikahi oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di Makkah sebelum hijrah ketika usia ‘Aaisyah 6 tahun, atau 7 tahun, atau usia 6 tahun yang beranjak memasuki 7 tahun jika kedua pendapat ini dijamak. Rasulullah hidup bersama ‘Aaisyah dan membangun rumah tangga bersamanya di Madinah setelah hijrah ketika usia ‘Aaisyah 9 tahun, mereka berumah tangga selama 9 tahun lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat ketika usia ‘Aaisyah 18 tahun. Para ulama hanya berbeda pendapat mengenai waktu pernikahan, apakah 2 tahun sebelum hijrah, 3 tahun, 4 tahun atau 5 tahun sebelumnya, serta tahun Rasulullah membangun kehidupan berumah tangga dengan ‘Aaisyah di Madinah, apakah tahun pertama setelah hijrah atau pada tahun kedua, setelah perang Badr.

Tidak ada dari para ulama tersebut yang berpendapat menyimpang yaitu ‘Aaisyah dinikahi Nabi ketika ia berumur 17 tahun serta hidup bersama beliau ketika berumur 20 tahun, lalu membuat berbagai macam analisa dan pembenaran yang keluar dari pakem-pakem syari’at dan pada akhirnya menghasilkan berbagai macam syubhat serta menebarkan kebingungan pada masyarakat mengenai umur ‘Aaisyah ketika dinikahi Nabi -sebagaimana yang dilakukan orang-orang muta’akhirin-, padahal maksudnya baik yaitu untuk membantah para orientalis yang menghina Nabi. Sekedar pengingat, bahwa apa yang kita yakini sekarang sebagai sesuatu yang diluar kewajaran, yaitu misalnya seorang wanita yang mendapat menstruasi lalu menikah di usia dini dibawah umur 10 tahun, maka pada zaman dahulu hal ini adalah sesuatu yang wajar dan benar-benar terjadi. Sahabat ‘Amr bin Al-‘Aash hanya berbeda 10 atau 11 tahun dengan putranya, ‘Abdullaah -radhiyallaahu ‘anhuma-, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy pada biografi ‘Abdullaah bin ‘Amr :

وليس أبوه أكبر منه إلا بإحدى عشرة سنة أو نحوها

“Ayahnya tidak jauh berbeda usia dengannya melainkan hanya terpaut sebelas tahun atau sekitarnya.” [As-Siyar 3/79]

Apakah para ulama serta sejarawan Islam menganggap ‘Amr bin Al-‘Aash melakukan sesuatu diluar batas kewajaran?

Lebih jauh, apa yang disaksikan oleh Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berikut ini semoga bisa menjadi pembuka cakrawala kita agar tidak sempit dalam memandang sesuatu hanya dengan kacamata orang-orang zaman sekarang :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ بَنَاتِ تسع يَحِضْنَ كَثِيرًا

Asy-Syaafi’iy berkata, “Aku melihat di negeri Yaman anak-anak perempuan berusia sembilan tahun yang banyak mengeluarkan darah haid.” [As-Siyar 10/91]

Lalu Al-Baihaqiy meriwayatkan dengan sanadnya hingga Asy-Syaafi’iy, ia berkata :

رَأَيْتُ بِصَنْعَاءَ، جَدَّةً بِنْتَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ سَنَةً حَاضَتِ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتِ ابْنَةَ عَشْرٍ، وَحَاضَتِ الْبِنْتُ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتِ ابْنَةَ عَشْرٍ

“Aku melihat di kota Shan’aa, seorang nenek yang berumur 21 tahun, ia mendapat haid sewaktu berumur 9 tahun dan melahirkan (anak perempuan) pada usia 10 tahun. Lalu (anak perempuannya tersebut) juga mendapat haid sewaktu berumur 9 tahun dan melahirkan pada usia 10 tahun.” [As-Sunan Al-Kubraa 1/319]

Narasi serupa juga diriwayatkan Abul Faraj Ibnul Jauziy dengan sanadnya hingga ‘Abbaad bin ‘Abbaad Al-Muhallabiy, ia berkata :

أَدْرَكْتُ فِينَا يَعْنِي الْمَهَالِبَةَ امْرَأَةً صَارَت جدة وَهِي بنت ثَمَان عَشْرَةَ سَنَةً وَلَدَتْ لِتِسْعِ سِنِينَ ابْنَةً فَوَلَدَتِ ابْنَتُهَا لِتِسْعِ سِنِينَ ابْنَةً فَصَارَتْ هِيَ جَدَّةً وَهِيَ ابْنَةُ ثَمَانِي عَشْرَ سَنَةً

“Aku menjumpai hal-hal yang ada pada suku kami -yakni wanita Muhaalabah-, yaitu seorang wanita yang telah menjadi nenek pada umur 18 tahun, ia melahirkan anak perempuannya pada usia 9 tahun. Lalu anak perempuannya tersebut juga melahirkan seorang anak perempuan pada usia 9 tahun. Maka jadilah wanita tersebut seorang nenek pada umur 18 tahun.” [At-Tahqiiq fiy Masaa’il Al-Khilaaf 2/267-268]

Manakala kondisi alam pada masa itu yang masih sangat alami serta makanan dan minuman yang masih sangat terjaga, jauh dari sentuhan bahan-bahan kimia, bisa saja membuat kondisi manusia ketika itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat serta kedewasaan pada umur yang belum genap 10 tahun, telah muncul ciri-ciri kedewasaan pada tubuh mereka seperti haid, mimpi basah (ihtilam), serta ciri-ciri sekunder lainnya, jadilah mereka pun menikah pada usia yang demikian muda karena mereka telah dipandang baligh oleh orangtuanya serta masyarakat, tidak ada dari mereka yang mengingkari hal yang demikian

Akhir kata, kami sudahi pembahasan ini dengan mengucap Alhamdulillah, apa yang kami tulis ini sudah tentu jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan adalah milik Allah Ta’ala saja, dan sudah tentu tulisan kami tidak mampu menutup semua syubhat, sebab kami hanya mengomentari dari sisi ini saja yang -dengan taufiq dan karunia Allah Ta’ala- kami dimudahkan untuk mengumpulkan sumber-sumbernya. Kami berdo’a semoga kaum muslimin dapat membendung dan memerangi pemikiran-pemikiran para orientalis, tentunya dengan ilmu diin yang shahih dengan bimbingan para ulama Rabbaniy yang telah mendapat petunjuk serta bashirah dari Allah Ta’ala, bukan dengan bimbingan hawa nafsu belaka.

Wallaahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.

Dirangkum dari berbagai sumber.

Biografi Hisyaam bin ‘Urwah serta jarh dan ta’dilnya kami rangkum dari kitab-kitab :

1. “Siyar A’laam An-Nubalaa’”, karya Al-Imam Syamsuddiin Abu ‘Abdillaah Adz-Dzahabiy, tahqiiq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uuth, Mu’assasah Ar-Risaalah, Beiruut, cetakan kedua.

2. “Tahdziibul Kamaal”, karya Al-Imam Jamaaluddiin Abul Hajjaaj Yuusuf Al-Mizziy, tahqiiq : Dr. Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf, Mu’assasah Ar-Risaalah, Beiruut, cetakan kedua.

3. “Tahdziibut Tahdziib”, karya Al-Haafizh Syihaabuddiin Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Al-Mathba’ah Daa’irah Al-Ma’aarif An-Nazhaamiyyah, India, via Maktabah Syaamilah.

4. “Taqriibut Tahdziib”, karya Al-Haafizh Syihaabuddiin Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, tahqiiq : Asy-Syaikh Muhammad ‘Awaamah, Daar Ar-Rasyiid, Suriah, via Maktabah Syaamilah.

5. “Miizaanul I’tidaal”, karya Al-Imam Syamsuddiin Abu ‘Abdillaah Adz-Dzahabiy, tahqiiq : Asy-Syaikh ‘Aliy Muhammad Mu’awwadh dan Asy-Syaikh ‘Aadil Ahmad ‘Abdil Maujuud, Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beiruut, cetakan pertama.

6. “Taariikh Madiinah As-Salaam” atau masyhur dengan nama “Taariikh Baghdaad”, karya Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘Aliy bin Tsaabit Al-Khathiib Al-Baghdaadiy, tahqiiq : Dr. Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf, Daar Al-Gharab Al-Islaamiy, cetakan pertama.

7. “Ats-Tsiqaat”, karya Al-Imam Abu Haatim Muhammad bin Hibbaan Al-Bustiy, Daa’irah Al-Ma’aarif Al-‘Utsmaaniyyah, Hyderabad, India, cetakan pertama, via Maktabah Syaamilah.

Footnotes :

[1] Hujjah, adalah ta’dil yang sangat tinggi di dalam ilmu jarh wa ta’dil. Perawi yang mendapat predikat hujjah melebihi status tsiqah dan riwayatnya diterima walau ia bersendirian (tafarrud).

[2] Al-Imam Abu Haatim Ar-Raaziy adalah ulama yang mutasyaddid dalam mentautsiq perawi. Jika seorang perawi hadits mendapat tautsiq dari beliau, maka berarti perawi tersebut tidak diragukan lagi bahwa haditsnya shahih. Adz-Dzahabiy berkata :

إذا وَثَّقَ أبو حاتم رجلاً فتمسّك بقوله. فإنه لا يوثِّق إلا رجلاً صحيح الحديث

“Jika Abu Haatim mentautsiq seorang perawi, maka berpeganglah dengan perkataannya. Karena sesungguhnya ia tidak mentautsiq kecuali seorang perawi yang shahih haditsnya.” [Siyaru A’laam An-Nubalaa’ 13/260]

[3] Karena sebab inilah Al-Haafizh memasukkannya ke dalam golongan mudallis dalam kitabnya “Thabaqaat Al-Mudallisiin hal. 26″ pada mudallis thabaqah pertama, yaitu mereka yang tidak disifati dengan tadlis dan tidak dikenal melakukan tadlis kecuali sangat sedikit.

[4] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillaah bin ‘Abdillaah bin Syihaab bin ‘Abdillaah bin Al-Haarits bin Zuhrah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy. Al-Imam Al-Faqiih Al-Haafizh, disepakati akan ketinggian derajatnya dan kekokohan hapalannya. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 5606, Siyaru A’laam An-Nubalaa’ 5/326 dan Taqriibut Tahdziib no. 6296.

[5] Ibraahiim bin Yaziid bin Qais bin Al-Aswad bin ‘Amr bin Rabii’ah An-Nakha’iy, Abu ‘Imraan Al-Kuufiy. Al-Imam Al-Haafizh, ahli fiqh negeri ‘Iraaq. Ia banyak melakukan irsal riwayat. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 265, Siyaru A’laam An-Nubalaa’ 4/520 dan Taqriibut Tahdziib no. 270.

[6] Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy, Abu ‘Abdillaah atau Abul Hasan Al-Madaniy Al-Hijaaziy. Seorang yang shaduuq, terkadang mengalami wahm. Al-Haafizh dalam Hadyu As-Saariy berkata, “Shaduuq, beberapa ulama membicarakannya dari sisi hapalannya.” Lihat Tahdziibul Kamaal no. 5513, As-Siyar 6/136 dan Taqriibut Tahdziib no. 6188.

[7] Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits bin Khaalid bin Shakhr bin ‘Aamir bin Sa’d bin Taim bin Murrah Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu ‘Abdillaah Al-Madaniy. Seorang yang tsiqah, termasuk ulama Madinah yang seangkatan dengan Saalim bin ‘Abdillaah bin ‘Umar dan Naafi’, kakeknya yaitu Al-Haarits bin Khaalid adalah sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Al-Haafizh menambahkan bahwa ia memiliki riwayat-riwayat yang ia tafarrud didalamnya. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 5023, As-Siyar 5/294 dan Taqriibut Tahdziib no. 5691.

[8] ‘Amr bin ‘Abdillaah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy, Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy. Al-Haafizh, syaikh kota Kuufah, seorang yang tsiqah dan banyak haditsnya serta ahli ibadah. Disifati dengan tadlis dan ikhtilath di akhir umurnya. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 4400, As-Siyar 5/392 dan Taqriibut Tahdziib no. 5065.

[9] Maksudnya, menggaulinya ketika ‘Aaisyah berumur 9 tahun.

[10] Ajlah bin ‘Abdillaah bin Hujaih Al-Kindiy, Abu Hujaih Al-Kuufiy. Yahyaa Al-Qaththaan berkata “pada diriku ada sesuatu mengenainya”, Ahmad dalam suatu riwayat berkata “Ajlah dan Mujaalid haditsnya sepadan (yaitu sepadan dalam kelemahannya karena Mujaalid adalah perawi yang haditsnya lemah, -pent)”, dalam riwayat lain ia berkata “Ajlah tidak sepadan dengan Fithr bin Khaliifah”, Ibnu Ma’iin mentautsiqnya, dalam riwayat lain ia berkata “shaalih”, dalam riwayat terakhir ia berkata “tidak ada yang salah padanya”, Al-‘Ijliy pun mentautsiqnya, Abu Haatim berkata “tidak kuat, ditulis haditsnya namun tidak dijadikan hujjah”, An-Nasaa’iy melemahkannya seraya berkata “ia mempunyai pemikiran yang buruk”, Ibnu ‘Adiy berkata “orang syi’ah dari penduduk Kuufah, menurutku ia mustaqiimul hadiits, shaduuq”, Al-Haafizh berkata “orang syi’ah, shaduuq”. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 282, Miizaanul I’tidaal 1/209, Taqriibut Tahdziib no. 285.

Kesimpulannya, Ajlah tidak kuat dalam hadits, ia sepadan dengan Mujaalid yang haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, walaupun dari dirinya ia orang yang shaduuq. Namun haditsnya bisa dijadikan mutaba’ah sebagaimana kata Abu Haatim (ditulis namun tidak dijadikan hujjah), selama ia tidak menyelisihi para perawi yang lebih kuat darinya dan bersamaan dengan sifat tasyayyu’ yang melekat pada dirinya.

[11] Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf Az-Zuhriy Al-Qurasyiy, Abu Ishaaq Al-Madaniy Al-Qaadhiy. Adz-Dzahabiy berkata “Al-Imam Al-Hujjah Al-Faqiih, qaadhiy kota Madinah”, dan Al-Haafizh berkata “tsiqah, orang yang memiliki keutamaan dan ahli ibadah”. Lihat Tahdziibul Kamaal no. 2199, As-Siyar 5/418 dan Taqriibut Tahdziib no. 2227.

[12] Didalam tela’ah ilmu hadits, orang yang paling tsabt pada seorang perawi biasa diungkapkan dengan ungkapan “fulaan atsbatun-naas fiy fulaan (fulan orang yang paling kokoh pada fulan)”, “fulaan atsbat fiy hadiits fulaan (fulan orang yang paling kokoh pada hadits fulan)”, dan ungkapan-ungkapan semisal. Penentuan semacam ini berguna ketika terjadi mukhalafah pada hadits yang diriwayatkan seorang perawi melalui murid-muridnya, beberapa jalur diriwayatkan secara marfuu’ sedangkan jalur lain diriwayatkan secara mursal atau mauquuf, maka salah satu cara menyelesaikan mukhalafah seperti ini adalah dilihatlah murid yang paling tsabt atau paling kokoh dari si perawi yang meriwayatkan hadits, jalur yang diriwayatkan sang murid tersebutlah yang dimenangkan.

Sebagai contoh, Muhammad bin Ja’far Al-Hudzaliy atau yang dikenal dengan laqab “Ghundar” adalah orang yang paling kokoh pada Syu’bah bin Al-Hajjaaj, disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal :

سمعت غندرا , يقول: لزمت شعبة عشرين سنة لم أكتب من أحد غيره شيئا

“Aku mendengar Ghundar mengatakan, “Aku melazimi (berguru, -pent) Syu’bah selama 20 tahun, selama itu pula aku tidak pernah sekalipun menulis hadits dari orang selainnya.” [Tahdziibul Kamaal no. 5120]

Dan ‘Abdullaah bin Al-Mubaarak berkata :

إذا اختلف الناس في حديث شعبة فكتاب غندر حكم بينهم

“Apabila manusia berselisih pada hadits Syu’bah, maka kitab Ghundar akan menjadi keputusan hukum diantara mereka.” [Tahdziibul Kamaal no. 5120]

Maka jelas, jika terjadi mukhalafah pada hadits yang diriwayatkan Syu’bah, Ghundar akan menjadi penyelesai dari khilaf tersebut, karena ia adalah murid Syu’bah yang paling tsabt bahkan melebihi ‘Abdurrahman bin Mahdiy.

[13] ‘Abdurrahman bin Abu Az-Zinaad ‘Abdullaah bin Dzakwaan Al-Madaniy, Abu Muhammad Ibnu Abu Az-Zinaad Al-Baghdaadiy. Ahmad dalam suatu riwayat berkata “dia lebih kusukai dibanding Warqaa’”, dalam riwayat lain ia berkata “dha’iiful hadiits”, dalam riwayat lain ia berkata “mudhtharibul hadiits”, sedangkan dalam riwayat lain Ahmad membolehkan meriwayatkan hadits-haditsnya, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat berkata “orang paling tsabt pada Hisyaam bin ‘Urwah”, dalam riwayat lain ia berkata “laisa bi syai’”, dalam riwayat lain ia berkata “dha’iif”, dalam riwayat lain ia berkata “haditsnya tidak dijadikan hujjah, ia dibawah Ad-Daraawardiy”, Ya’quub bin Syaibah berkata “tsiqah shaduuq, dalam haditsnya ada kelemahan”, Abu Zur’ah berkata “Syu’aib, Warqaa’ dan Al-Mughiirah lebih kusukai ketika meriwayatkan dari Abu Az-Zinaad dibanding Ibnu Abi Az-Zinaad”, An-Nasaa’iy berkata “haditsnya tidak dijadikan hujjah”, As-Saajiy berkata “Ibnu Abu Az-Zinaad, dari Ayahnya, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, hujjah”, Abu Ahmad Al-Haakim berkata “bukan seorang haafizh”, At-Tirmidziy dan Al-‘Ijliy mentautsiqnya, Ibnu Hibbaan berkata “dia sendirian meriwayatkan khabar-khabar yang maqluub dari para perawi tsiqah, dikarenakan hapalannya yang buruk dan banyaknya kesalahan, haditsnya tidak dijadikan hujjah jika ia bersendirian”, Ibnul Madiiniy berkata “haditsnya ketika di Madiinah muqaarib (baik) dan apa yang ia ceritakan ketika berada di ‘Iraaq, maka haditsnya mudhtharib”, dalam riwayat lain Ibnul Madiiniy berkata “di sisi kami ia dha’if”, dalam riwayat lainnya lagi ia berkata “apa yang diceritakan Ibnu Abu Az-Zinaad di Madiinah maka ia shahiih, dan apa yang diceritakannya di Baghdaad maka penduduk Baghdaad telah dikacaukannya”, ‘Amr bin ‘Aliy berkata “haditsnya di Madiinah lebih shahih daripada haditsnya ketika berada di Baghdaad”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq, hapalannya berubah ketika mendatangi Baghdaad”, dan Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “dha’if, hadits-haditsnya bisa dijadikan mutaba’ah dan syaahid”. Lihat Mausuu’atu Aqwaal Al-Imam Ahmad 2/323, Adh-Dhu’afaa’ Al-‘Uqailiy 2/750, Taariikh Baghdaad 11/495, Tahdziibut Tahdziib 6/170, Al-Majruuhiin 2/56, Taqriibut Tahdziib no. 3861, Miizaanul I’tidaal 4/300, Al-Mukhtalithiin hal. 90 dan Tahriirut Taqriib 2/318.


Disusun oleh: Abu Ahmad ~semoga Allah menjaganya~
Sumber artikel: muhandisun.wordpress.com

Untuk uraian tambahan, lihat diwebsite Abu Jauzaa

Categories: Hadits | Tag:

Navigasi pos

Komentar ditutup.

Blog di WordPress.com.